Isnin, 22 Mac 2010

Awas Kristenisasi: Pendeta Bagikan Rumah Gratis!

Sebuah surat kabar daerah Harian Radar Cilacap (26/5/2009) memberitakan sebuah perusahaan swasta akan membangun 250.000 unit rumah tipe 45 yang kemudian akan dibagikan secara cuma-cuma kepada keluarga pra-sejahtera.
PT. Bina Mitra Bangun Persada (BMBP) yang dipimpin oleh Pendeta Dr Agustinus Anasay direncanakan akan membangun 250.000 unit rumah tipe 45. Setiap rumah bernilai Rp. 180.000.000,- sudah termasuk perabot rumah tangga.
Untuk tahap pertama ini pembangunan rumah dilakukan di Kabupaten Purbalingga dan Cilacap ber jumlah 10.000 rumah. Pembangunan ini dipercayakan kepada PT. BMBP Cabang Jawa Tengah yang berkantor di Jalan Letnan Yusuf no. 1 Purbalingga dipimpin oleh Pendeta Agustinus Chrystian Bire.
Kedua pendeta tersebut menyatakan bahwa pembagian rumah tersebut tidak memandang ras, suku, dan agama. Semata-mata untuk membagi kasih dan kebahagiaan bagi kaum lemah dengan harapan kaum yang lemah tersebut akan tercukupi kebutuhan hidupnya sehingga dapat merasakan kebahagiaan.
Harus diwaspadai
Mengapa program pembangunan yang kelihatannya sangat baik itu perlu diwaspadai? Karena ada hal-hal yang tidak wajar dan patut dipertanyakan pada program ini. Pertama, dari mana perusahaan swasta yang baru berdiri itu memperoleh dana sangat fantastis yakni Rp. 45.000.000.000.000,- (180.000.000 x 250.000). Karena tidak ada perusahaan swasta dalam negeri yang memiliki dana sebesar itu. Boleh jadi dana tersebut merupakan bantuan dari luar negeri. Kalau demikian, apakah pemerintah sudah tahu hal ini. Bukankah ada ketentuan yang harus dipenuhi oleh setiap organisasi yang menerima bantuan luar negeri. Apakah hal ini sudah diperiksa oleh pemerintah ?
Kedua, bahwa lahan/tanah yang akan dibangun rumah menurut aturan haruslah bersertifikat. Lalu atas nama siapakah sertifikat tersebut. Kalau atas nama pemilik modal yang notabene seorang pendeta, maka sang pendeta tersebut memiliki otoritas penuh atas lahan itu. Pemerintah tidak bisa ikut campur tangan langsung mengatur pembagian rumah untuk rakyatnya. Terlebih lagi apabila si pendeta tersebut mengatas-namakan agama dalam pembagian rumahnya, maka pemerintah tidak mungkin bisa berbuat apa-apa. Bisa-bisa dianggap menghalangi kebebasan beragama seseorang.
Ketiga, seorang pendeta sudah pasti terikat dengan tugasnya sebagai seorang missionaris. Dengan demikian sangat wajar kalau ummat Islam menaruh kecurigaan terhadap mereka bahwa pembagian rumah tersebut hanyalah taktik untuk menjebak seorang muslim agar meninggalkan agamanya setelah menerima rumah. Atau bisa jadi ditentukan syarat harus keluar dulu dari agama Islam untuk bisa mendapatkan rumah gratis.
Untuk mengantisipasi program pemurtadan ini sudah seharusnya ummat Islam merapatkan barisan, meningkatkan ukhuwah Islamiyah, dan terus menerus melakukan konsolidasi dan pembentengan ummat agar aqidah mereka terpelihara.
Pemerintah juga diharapkan memainkan peranannya sebagai pengayom rakyat. Rakyat berhak mendapat perlindungan manakala keyakinannya terancam. Apabila mereka tidak mendapat perlindungan pemerintah, maka dikhawatirkan mereka akan melakukan perlawanan dengan cara mereka sendiri yang pada akhirnya menimbulkan konflik antar ummat beragama. Semoga hal ini mendapat perhatian bersama.

Tiada ulasan:

Catat Ulasan